KAIDAH AL ATHAF FIL QUR’AN
1. Amm di athafkan Khos itu menunjukkan keumuman, dan urgensi pertama.
Contoh :
Al an’am : 162
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
Dimana kata Nusuki dimaknai dengan ibadah. Dan khos itu merupakan bagian dari umum. Jadi, dalam ayat ini nusuki yang merupakan kata umum, di athafkan kepada Sholatiy yang merupakan ibadah khusus yakni sholat.
2. Khos di athafkan amm itu menunjukkan keunggulan atau urgensinya. Sehingga, seperti tidak termasuk jenisnya amm, yang diturunkan perubahan dalam sifat yang menempati perubahan dzat.
Contoh :
Al Baqarah : 238
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Yang mana Sholat wustha di athafkan kepada Sholawat. Dan kaidah yang kedua ini menunjukkan keutamaan sholat wustha.
3. Ketika mengathafkan sifat kepada sifat yang di athafkan ke satu yang disifati, maka yang lebih fasih menurut orang arab adalah tanpa menggunakan wawu. Tapi, ketika sifat kedua memiliki sifat yang lain, maka menggunakan wawu.
Contoh :
An Nisa : 37-38
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (37)وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ(38)
Dimana mausuf yang kedua beda dzatnya dengan yang pertama. Maka dari itu waladzina di athfkan kepada aladzina dengan menggunakan wawu, karena berbeda.
4. Satu perkara ketika disebut dua sifat yang berbeda, maka boleh mengathofkan salah satu dari keduanya kepada yang lain. Perubahan sifat menempati tempatnya dzat.
Contoh :
Al A’la : 1-4
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى(1)
(2)الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ(3)
وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَىٰ (4)
Sifatnya banyak, akan tetapi yang disifati hanya satu. Dan di ayat tersebut sifat sifat setelahnya itu mensifati kata Robbi.
5. Athaf itu menunjukkan perbedaan antara ma’tuf dengan ma’tuf alaih. Serta adanya keterkaitan hukum di dalamnya (Konteks kalimat)
Contoh :
Al Furqon : 59
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
kata Ardlo di athafkan kepada as samawat. Dimana bumi dan langit itu merupakan suatu hal yang berbeda, akan tetapi tetap berhubungan antar keduanya.
6. Mengathafkan jumlah ismiyah kepada jumlah fi’liyah itu memberi faidah dawam (tidak terbatas/bisa berubah) dan Tsabat (Tetap).
Contoh :
Al An’am : 56
قُلْ لَا أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ ۙ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Kata wa ma ana minal muhtadin yang merupakan jumlah ismiyah di athafkan kepada kata khod dholaltu yang merupakan jumlah fi’liyah. Bahwasannya orang yang tersesat itu akan tetap tersesat jika terus mengikuti hawa nafsu. Padahal sebenarnya kesesatan tersebut bermakna dawam atau bisa berubah jika mereka mendapat petunjuk.
7. Termasuk kebiasaan orang arab itu mengathafkan kalam kepada makna yang telah disebut. Walaupun lafadznya kelihatan berbeda.
Contoh :
Al Baqarah : 259
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ
Dimana kata ayat tersebut di athafkan dengan ayat sebelumnya, yakni surat Al Baqarah : 258
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ
Yang dimaksudkan adalah lafadz dari kedua ayat tersebut berbeda, akan tetapi mempunyai kemiripan makna. Dimana marro dan hajj dianggap sama-sama bermakna jalan-jalan. Itu merupakan kebiasaan orang arab.
——————————————-
Referensi :
Khalid bin Utsman as Sabt, Qawaid al Tafsir. Hlm. 429-437
(Penulis : Kang Mued)
HISSAM CREW
Media Center PP. Hidayatus Salaam